Senin, 19 Mei 2008

Pendidikan Pemilih pada Pemilu 2009 dengan Basis Evaluasi Pemilu 2004[1]

Oleh Drs. M. Mufti Syarfie, MM[2]

Pendahuluan

Amanah konstitusi menegaskan kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar, artinya rakyat memiliki kedaulatan, tanggungjawab, hak dan kewajiban untuk secara demokratis paling kurang dalam dua hal yaitu memilih pemimpin yang akan membentuk pemerintahan guna mengurus dan melayani seluruh komponen masyarakat, kedua untuk memilih wakil rakyat yang akan ditugasi mengawal dan mengawasi jalannya pemerintahan

Cara perwujudan kedaulatan tersebut, adalah melalui pemilihan umum secara langsung sebagai sarana bagi rakyat untuk memilih wakil-wakilnya yang akan ditugasi menjalankan fungsi pengawasan, menyalurkan aspirasi politik masyarakat, membuat undang-undang, serta merumuskan anggaran pendapatan dan belanja untuk membiayai pelaksanaan fungsi di atas. Target utama dalah kesejateraan rakyat.

Di sisi lain, pemilu DPR, DPD, DPRD Prov dan DPRD Kab/Kota dengan azas luber dan jurdil di setiap lima tahun sekali, dilaksanakan dengan menjamin prinsip keterwakilan, yang memberikan jaminan setiap warga terjamin memiliki wakil yang duduk di lembaga perwakilan.

Dengan azas langsung, rakyat sebagai pemilih memiliki hak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai keinginannya, tanpa perantara. Azas umum menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga tanpa diskriminasi.

Penyelenggaraan pemilu secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil memberikan dampak positif dalam penguatan demokrasi baik di tingkat lokal maupun nasional. Masyarakat diberikan hak suara untuk memilih calon, maupun partai politik yang mereka nilai akan mampu memperjuangkan aspirasinya apabila nantinya terpilih dalam pemilu. Pemilih dituntut cerdas untuk bisa memilih dan menilai dengan baik dan cermat siapa wakil rakyat yang pantas dan bisa memperjuangkan aspirasinya. Hal ini dapat diartikan bahwa pemilih haruslah mempunyai pengetahuan yang baik mengenai hak dan kewajibannya dalam pemilu sehingga tumbuh suatu kesadaran yang tinggi akan pentingnya keikutsertaan dalam pemilu. Meningkatnya kesadaran dan keikutsertaan atau partisipasi politik publik serta pengetahuan yang baik dalam pemilu akan dapat mewujudkan suatu pemilihan umum yang berkualitas.

Pemilih dalam Pemilu

Warga negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara sudah berumur 17 (tujuh belas ) tahun atau sudah / pernah kawin mempunyai hak untuk memilih. Dalam hal ini, warga negara dapat menggunakan hak untuk memilih jika telah terdaftar sebagai pemilih dan memenuhi syarat-syarat yaitu nyata-nyata tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya dan tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan. Hak untuk memilih harus dilaksanakan dengan kesadaran dan penuh tanggung jawab.

Fungsi Pendidikan Pemilih

Berdasarkan hasil evaluasi penyelenggaraan Pemilu 2004, baik pemilu anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kab/Kota, maupun pemilu presiden dan wapres (putaran pertama dan putaran kedua), ditemukan kecenderungan perbaikan kualitas penerimaan dan pemahaman masyarakat (Sumatera Barat), terhadap proses teknis pemberian suara. Sejak awal penyelenggara pemilu (KPU, KPU Prov, Kab/Kota dan kepanitiaan) di tingkat bawah menyadari, bahkan sempat mengkhawatirkan bahwa tingkat pemahaman masyarakat terhadap proses teknis pemilu itu sendiri rendah.

Dasar kekhawatiran itu antara lain, selain perangkat undang-undang politik baru, masyarakat juga dihadapkan pada sistem pemilihan yang baru pula. Pertama kali diperkenalkan sistim pemilu proporsional terbuka untuk memilih anggota dewan perwakilan dan sistem distrik berwakil banyak untuk anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Masyarakat (pemilih) disuguhkan juga dengan kerumitan cara mengimplementasikan pilihannya. Selain mencoblos tanda gambar juga dianjurkan mencoblos nama calon di yang ada di surat suara. Menyadari hal tersebut, KPU Provinsi dan Kab/Kota di Sumatera Barat, berupaya mengajak dan membuka berbagai kesempatan kepada kelompok kelompok masyarakat dan kelompok profesional, seperti LSM, PWI dan lembaga pemerintahan untuk melakukan sosialisasi yang kemudian menjadi bagian dari upaya pendidikan pemilih.

Sasaran utama, tidak hanya masyarakat pemilih secara umum, tapi memberikan prioritas kepada kelompok potensial, seperti pemuka masyarakat, para guru, niniak mamak dan alim ulama dibekali proses teknis penyelenggaraan pemilu tersebut, untuk mengejar pemilih pemula.

Hasil sosialisasi dan pendidikan pemilih bisa dilihat, baik dari perbandingan angka partisipasi pemilih, maupun dari tingkat kesalahan coblos (suara sah dan tidak sah) di antara tiga kali pemilihan pada tahun 2004 lalu (Pileg, Pilpres I dan II). Pada Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD Prov, Kab/Kota persentase suara sah (betul cara mencoblos) 91.04% (8,96% suara tidak sah) pada putaran pertama Pilpres, meningkat menjadi 98,26% (1.74% tidak saha) dan putaran kedua, naik lagi menjadi 98,52% (1,49% suara tak sah). Hasil ini mengembirakan. Paling tidak bisa ditarik kesimpulan sangat sederhana, bahwa pemahaman masyarakat pemilih terhadap cara mencoblos yang benar, semakin membaik dari satu pemilihan ke pemilihan lain.

Namun di sisi lain kita kembali khawatir setelah disuguhi angka partisipasi pemilih yang justru bertolak belakang dengan persentase suara sah atau tidak sahnya. Angka partisipasi justru menurun. Pada pemilu legislatif, angka partisipasi mencapai 75,56%, pada Pilpres I, menurun menjadi 72,23% dan Pilpres II anjlok menjadi 66,39%. Gambaran angka ini menimbulkan banyak argumentasi penyebabnya, antara lain, selain masalah kecerdasan memilih, juga bisa disebabkan faktor hubungan emosional (kedekatan) antara pemilih dengan calon pada setiap pemilihan tersebut. Ada pendapat yang mengemukakan, bahwa pada pemilu legislatif, pemilih memiliki hubungan kedekatan yang cukup signifikan dengan caleg dan parpol, bisa saja disebabkan hubungan kekeluargaan, intensitas caleg dalam mendorong pemilih ke TPS dll, sementara hubungan emosional ini, kurang berperan dalam pemilihan Presiden dan Wapres. Pada putaran pertama, partisipasi pemilih masih cukup tinggi, tapi di putaran kedua partisipasi tersebut anjlok. Bisa jadi calon atau jagoan tertentu tak mampu masuk ke putaran kedua.

Pendidikan pemilih merupakan bagian dari pendidikan politik. Pendidikan politik tidak hanya menjadi tanggungjawab penyelenggara, tapi menjadi domain partai politik. Dalam ketentuan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik menyatakan bahwa partai politik berfungsi sebagai sarana pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga Negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pendidikan politik dilaksanakan dalam rangka untuk membangun etika dan budaya politik sesuai dengan Pancasila.

Hal yang sama juga ditegaskan dalam Pasal 13 UU Nomor 2 tahun 2008, bahwa partai politik berkewajiban melakukan pendidikan politik dan menyalurkan aspirasi politik anggotanya.

Secara lebih tegas lagi mengenai pendidikan politik dapat dilihat dalam Pasal 31 UU Nomor 2 tahun 2008, yang menyatakan bahwa Partai politik melakukan pendidikan politik bagi masyarakat sesuai ruang lingkup tanggung jawabnya dengan memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender dan tujuannya antara lain :

a. Meningkatkan kesadaran hak dan kewajiban masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

b. Meningkatkan partisipasi politik dan inisiatif masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

c. Meningkatkan kemandirian, kedewasaan, dan membangun karakter bangsa dalam rangka memelihara persatuan dan kesatuan bangsa

Pada bagian lain pendidikan pemilih merupakan proses pencerdasan pemilih. Harusnya tidak terpaku hanya pada soal teknis pemilu saja, tapi juga cerdas dalam menganalisa dan menentukan pilihannya, sehingga perwakilan atau pemimpin yang dipilih tersebut betul-betul orang yang kredibel dalam menjalankan kedaulatan rakyat. Ini artinya ada faktor lain yang diperlukan oleh pemilih, paling tidak, fator kemampuan analisa terhadap calon yang akan dipilih, namun faktor pengenalan teknis juga diperlukan agar suara yang diberikan itu bisa sah dan menjadi penentu.

Bagi penyelenggara pemilu, pendidikan pemilih itu diisi dengan memperjelas fungsi informasi pemilih, terutama yang berkenaan dengan pelaksanaan pemilihan secara demokratis berdasarkan prinsip-prinsip terarah, partisipasi publik, luber dan jurdil.

Sebagian besar penyebaran informasi pemilih bisa disajikan kepada publik melalui sosialisasi yang terstruktur. Prioritas pesan yang disampaikan antara lain sebagai berikut;

1. Proses pendaftaran pemilih

2. Tahapan dan jadwal pemilihan, terutama tentang kapan, di mana pemungutan suara dakan dilakukan, termasuk lokasi TPS

3. Metode atau cara “penconterangan” surat suara untuk menjamin sahnya suara yang diberikan

4. Metode penghitungan suara dan penentuan calon terpilih

5. Informasi lain tentang cara penyampaian keluhan, prosedur penyelesaian perselisihan hasil dan imbauan kepada pemilih untuk tidak tergiur dengan suap atau politik uang, imbauan memilih dengan hati nurani dan berdasarkan pertimbangan elegan.

Sasarannya adalah, para pemilih, terutama pemilih pemula sadar tentang proses pendaftaran menjadi pemilih, proses pemilihan, termasuk jadwal tentang kapan dan di mana pemungutan suara dilaksanakan di lingkungannya, tentang bagaimana cara memberikan suara agar sah, bagaimana suara itu dihitung. Pemilih juga diharapkan mengenal para calon yang bersaing dalam pemilihan dll.

Media yang digunakan dalam pendidikan pemilih ini, bisa berbentuk pertemuan langsung maupun tak lansung atau melalui media terpilih sesuai dengan segmentasi target. Ada banyak jenis media komunikasi yang bisa digunakan, antara lain media televisi, media cetak, elektornika,yang akan menyampaikan seruan, iklan dan melalui poster, leaflet dll. Sarana komunikasi yang perlu dipertimbangkan dalam melaksanakan pendidikan pemilih adalah pertemuan kelompok masyarakat berpengaruh, seperti pemuka masyarakat, para guru di pedesaan, pengumuman keliling sebelum hari “H”.

Media center juga sangat membantu, untuk memudahkan wartawan dalam mengemas peristiwa dan proses pemilihan yang dilakukan oleh penyelenggara. Kemudahan akses bagi wartawan juga sangat menentukan penyebaran informasi pemilih yang menjadi bagian materi pendidikan pemilih tersebut.


Kesimpulan

1. Penyelenggara pemilu dituntut harus mendorong keterlibatan publik seluasnya melalui LSM dan lembaga nirlaba lainnya dalam menyebarkan informasi tentang adanya pemilihan. Peran LSM dan kelompok profesi seperti PWI bisa didorong tidak hanya memberikan informasi “tentang apa”, tapi juga “tentang mengapa”.

2. Sasaran pendidikan pemilih adalah tumbuhnya partisipasi politik dan inisiatif masyarakat dalam pemilihan umum. Dengan adanya kesadaran berpolitik dari pemilih dapat menstimulus pemilih dan lingkungannya untuk secara aktif mendaftarkan diri sebagai pemilih.

3. bahwa pendidikan pemilih tidak semata-mata menjadi tanggungjawab penyelenggara, tapi pemerintah dan partai politik juga mempunyai tanggungjawab yang besar dalam melakukan pendidikan pemilih ini.

4. Pendidikan pemilih pada Pemilu 2009 harus dikemas sedemikian rupa, lebih komplit karena perobahan undang-undang politik yang menjadi dasar penyelenggaraan pemilu 2009 diperkirakan menimbulkan kesulitan baru bagi pemilih, terutama cara pemberian suara yang tidak lagi dengan cara coblos, tapi dengan memberi satu kali (x) pada surat suara

Preliminary
Indonesian Constitution asserted sovereignty in the hands of the people and executed according to the Constitution, it means the people have sovereignty, responsibility, rights and obligations in a democratic way to at least two things: elect a leader who will form a government to administer and serve the entire community, both to choose representatives who will be assigned to oversee and supervise the administration

The way the embodiment of sovereignty, is through direct elections as a means for people to choose their representatives who will be tasked to supervise, the political aspirations of society, make laws, and to formulate the budget revenues and expenditures to finance the implementation of the above function. The main target dalah welfare of the people.

On the other hand, the election of DPR, DPD and DPRD Prov DPRD Kab / Kota by the principle of overflow and honest and fair in every five years, carried out by guaranteeing the principle of representation, which guarantees every citizen guaranteed to have representatives who sit in representative institutions.

With the principle of direct, popular as voters have the right to vote directly if they wish, without intermediaries. General principle which applies a comprehensive guarantee opportunity for all citizens without discrimination.

Direct election, general, free, confidential, honest and fair to give a positive impact in strengthening democracy both in local and national levels. Society granted voting rights to select candidates, and political parties will be able to fight for their values or aspirations if elected in the elections later. Voters are required to be able to choose intelligently and properly and accurately assess who the representatives of the people who deserve and can fight for their aspirations. This could mean that voters should have a good knowledge about their rights and obligations in the elections so that the growth of a high awareness of the importance of participation in elections. Increased awareness and public participation or political participation and good knowledge in the election would be able to create a quality election.

Voters in Election

Indonesian citizens on voting day was aged 17 (seventeen) years or have never married have the right to vote. In this case, citizens can use their rights to vote if you have registered as voters and meets the requirements is obviously not being disturbed soul / mind and no vote was revoked based on court decisions. The right to vote must be conducted with full awareness and responsibility.

Voter Education Functions

Based on the results of evaluation of the implementation of the 2004 elections, both members of the House of Representatives election, DPD, Provincial DPRD and Regency / Municipality, as well as presidential and vice-presidential elections (first round and second round), found a tendency to improve the quality acceptance and understanding of society (West Sumatra), the process technical voting. Since the beginning of the election organizer (KPU, KPU Prov, Kab / Kota and committees) at lower levels to realize, even worrying that the level of public understanding of the technical process of election itself is low.

Basic concerns, among others, in addition to device new political laws, the community is also faced with a new electoral system as well. First introduced proportional electoral system is open to select members of the board of representatives and a deputy district system a lot for members of the Regional Representatives Council (DPD). Society (voters) are also served with the complexity of how to implement the choice. In addition to cast their ballots heads also recommended in the existing name of the candidate on the ballot. Recognizing this, the Commission Provincial and Regency / Municipality in West Sumatra, are trying to take and open many opportunities for community groups and professional groups, such as NGOs, PWI and government agencies to conduct socialization which later became part of the effort to voter education.

The main goal, not only the community of voters in general, but gives priority to potential groups, such as community leaders, teachers, scholars niniak mamak and provided technical processes such election, to pursue voters.

The result of socialization and education of voters could be seen, both from a comparison of voter participation rate, or the rate of error "coblos" or make a hole ballot papers (valid and invalid votes) among the three times in the year 2004 election and then (Pileg, Election I and II) . In the election of DPR, DPD and DPRD Prov, Kab / Kota percentage of valid votes (ballots right way) 91.04% (8.96% invalid votes) in the first round election, increased to 98.26% (1.74% not saha) and second round, rose again to 98.52% (1.49% of the vote was not valid). These results mengembirakan. At least a very simple conclusion can be drawn, that the public understanding of how to mark voters (a hole) is right, getting better from one election to another election.

But on the other side we re treated to worry after the voter participation rate in the opposite with the percentage of valid votes or not legitimate. Participation rate actually declined. In legislative elections, the participation rate reached 75.56%, on the Presidential Election I, decreased to 72.23% and Election II fell to 66.39%. Description of this figure raises many arguments cause, among others, in addition to intelligence problems choosing, also can be caused by emotional relationship factors (closeness) among voters with the candidate at every election. There is an opinion that suggests that at the legislative elections, voters have a significant attachment relationships with candidates and political parties, could have been caused by family relationships, the intensity of candidates in encouraging the voters to the polls etc, while this emotional connection, lack of role in the election of President and Vice President. In the first round, turnout was relatively high, but in the second round of participation is falling. Could be a candidate or a particular hero was not able to enter the second round.

Voter education is part of political education. Political education is not only responsible for the organizers, but became a political party domain. In terms of Article 11 of Law Number 2 Year 2008 on Political Parties states that political parties serve as a means of political education for members and the wider community in order to become Indonesian citizens who are aware of their rights and obligations in society, nation and the state. Political education carried out in order to build a culture of ethics and politics in accordance with Pancasila.

The same is also affirmed in Article 13 of Law No. 2 of 2008, that political parties are obliged to do political education and political aspirations of its members.

More firmly back on the political education can be seen in Article 31 of Law No. 2 of 2008, which states that political parties conduct political education for the community in accordance with the scope of their responsibilities with due regard to justice and gender equality and purposes, among others:

a. Increasing public awareness of rights and obligations in society, nation and state.

b. Enhance political participation and community initiatives in the life of society, nation and state.

c. Increase the independence, maturity, and nation building character in order to maintain national unity

In another part of voter education is a process to empower voters. Should not stare at the technical matter of elections, but also intelligent in analyzing and determining their choices, so that elected representatives or leaders are really a credible person in conducting the people's sovereignty. This means that there are other factors that are needed by voters, at least, fator analysis capabilities of the candidates will be selected, but technical factors are also necessary to enable the introduction of the vote was valid and it could become a decisive factor.

For administering elections, voter education was charged with clarifying the functions of voter information, particularly regarding the implementation of democratic elections based on the principles of focus, public participation, to overflow and Jurdil.

Most of the dissemination of voter information can be presented to the public through a structured socialization. Priority of the messages conveyed were as follows;

1st. Voter registration process

2. Stages and schedule elections, especially concerning when, where voting action taken, including the location of polling stations

3. The method or manner "penconterangan" or tagging to ensure the legitimacy of the ballot vote was

4. Method of counting votes and determining the selected candidates

5. Other information about grievance procedures, dispute settlement and the results of an appeal to voters not to be tempted by bribes or political money, appeal for vote their conscience and based on considerations of elegance.

The goal is, the voters, especially voters become aware of the voter registration process, the electoral process, including a schedule of when and where voting was conducted in the environment, about how to give voice to legitimate, how votes were counted. Voters are also expected to know the candidates competing in elections etc..

Media used in this voter education, meetings can be shaped directly or not directly or through elected in accordance with the segmentation of the target. There are many types of communication media that can be used, among other media, television, print media, elektornika, who shall transmit calls, advertisements and through posters, leaflets etc. Communication tools that need to be considered in conducting voter education are influential community group meetings, such as community leaders, teachers in rural areas, the announcement of the circumference before the day "H".

Media center is also very helpful, to facilitate journalists in the packed event and selection process conducted by the organizers. Ease of access for journalists is also very decisive voter information distribution that are part of the voter education materials.


Conclusion

1st. Organizers claimed the election should encourage public involvement seluasnya through NGOs and other nonprofit organizations to disseminate information about the election. The role of NGOs and professional groups such as the PWI can be driven not only providing information "about what" but also "why".

2. Voter education target is the growth of political participation and community initiatives in the general election. With the awareness of voters in politics and the environment can stimulate voters to actively register as voters.

3. that voter education is not solely the responsibility of the organizers, but the government and political parties also have a great responsibility in doing this voter education.

4. Education voters in the election in 2009 should be packaged in such a way, more compact because the change of political laws which form the basis the election in 2009 is estimated to cause new difficulties for voters, especially the way voting is no longer a way coblos, but by giving a one-time (x) on the ballot



[1] Disampakan pada workshop sehari “Pendidikan Pemilih Berbasis Jurnalisti”, kerjasama Depkominfo dan Mapilu PWI, di hotel Bumi Minang, Rabu, 2 April 2008

[2] Ketua KPU Provinsi Sumatera Barat, mantan Ketua PWI Cabang Sumbar dan wartawan Haluan Padang

Tidak ada komentar: